GIAT ZOOM MEETING PELUNCURAN SCOPING STUDY
TENTANG PEMENUHAN HAK PEREMPUAN DAN ANAK
PASCA PERCERAIAN
Ketua Pengadilan Agama Kraksaan, Drs. Zainal Arifin, M.H. mengikuti zoom meeting yang diadakan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Kementrian PPN/BAPENNAS dan Federal Circuit and Family Court of Australia serta Australian Government. Zoom ini dilaksanakan di Ruang Media Center Pengadilan Agama Kraksaan. Pada zoom meeting yang dilaksanakan pada hari Senin, 02 Desember 2024 ini dengan agenda peluncuran scoping study terkait pemenuhan nafkah mantan istri dan anak pasca putusan perceraian di Indonesia. Kegiatan ini sangat menarik untuk diikuti karena tema “pemenuhan nafkah mantan istri dan anak pasca putusan percerian” sangat relevan terjadi di Pengadilan Agama terutama di Pengadilan Agama Kraksaan.
Di Indonesia, banyak putusan hakim yang dianggap belum mempertimbangkan hak anak dan mantan istri. Rendahnya pengajuan hak asuh atau nafkah oleh perempuan mencerminkan kurangnya pemahaman tentang hak pasca perceraian. Sehingga ada 850.000 anak terdampak perceraian di Indonesia tanpa ada jaminan nafkah atau hak asuh yang jelas. Kondisi ini memperburuk kerentanan anak-anak terhadap kemiskinan dan masalah psikologis. Pada ASN Diatur dengan PP 10/1983 yang diubah dengan PP 45/1990 yang mengatur mengenai perkawinan dan perceraian ASN, namun Pasal ini tidak diterapkan secara efektif dan Tidak ada mekanisme pengawasan yang jelas terhadap pasal ini. Sedangkan pada non ASN Belum ada regulasi yang mengatur mekanisme pemenuhan hak bagi mantan istri dan anak pasca perceraian dan tidak adanya pedoman standar terkait besaran nafkah pasca perceraian.
Ibu Arta Silalahi yang merupakan seorang Wakil Pengadilan Tinggi Jakarta selaku penanggap mengungkapkan “hak anak dan istri pasca perceraian sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan akan tetapi hak anak dan istri tersebut harus dengan tegas diminta dalam gugatan dan dibunyikan dalam putusan hakim. Memberikan hak anak dan istri tersebut hanya bisa dikabulkan semata-mata berdasarkan adanya suatu bukti baik bukti tertulis maupun bukti saksi.” Beliau juga memberikan saran dan rekomendasi dengan nyatakan bahwa “diperlukan perangkat perundang-undangan yang mewajibkan instansi tempat suami bekerja baik instansi negeri maupun swasta untuk menerbitkan rincian daftar gaji jika diminta oleh pihak istri dalam hal terjadi gugatan perceraian. Perlunya sosialisasi mengenai hak nafkah anak dan istri keseluruh lapisan masyarakat apabila terjadi perceraian. Sebaiknya perkara perceraian yang melibatkan anak ditangani oleh hakim yang juga bersertifikasi hakim anak. Sehingga diharapkan dapat lebih memahami kondisi dan kebutuhan anak selama proses pasca perceraian.” Diperlukannya kolaborasi antar stakeholder karena isu ini tidak bisa ditangani sendiri oleh lembaga peradilan, pemenuhan hak anak bukan merupakan kewenangan dari pengadilan namun merupakan kewenangan dari lembaga eksekutif.
Hadir juga narasumber lain dalam kegiatan ini, Dian Anggraeni selaku Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Madya Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat yang mengungkapkan bahwa pajak yang relevan dipakai dalam topik ini adalah pajak PPh. Pajak Penghasilan (PPh) mengenakan 1 (satu) keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis. Ketika terjadi perceraian akan berpengaruh kepada PTKP. Jadi jika nantinya UU PPH digunakan, maka harus jelas siapa subjek dan objek nya. Perlu rekontstruksi ada kelalaian hak mantan istri yang tidak dipenuhi oleh suami melalui pajak. Namun yang masih menjadi kendala adalah ketika suami merupakan pengusaha. Maka self assesemet harus diawasi. Dan bagaimana prosedurnya terkait dengan mekanisme penyaluran kepada istri yang tidak mendapatkan haknya. Oleh sebab itu diperlukan regulasi yang akan mengatur lebih lanjut mengenai hal ini. (SA)
Comments